Namaku
Faridha. Orang biasa memanggilku dengan Ridha saja. Aku lahir tahun
1975 di sebuah kota terkenal dengan julukannya, yaitu kota hujan. Aku
telah menikah dengan seorang pria keturunan Jawa bernama Mas Hadi. Kami
dikarunai seorang anak laki-laki yang kulahirkan di akhir tahun 1999.
Oh.. iya, aku menikah dengan Mas Hadi pada tahun 1998, bulan April.
Kehidupan kami biasa saja, dari segi ekonomi sampai hubungan suami
istri. Aku dan suamiku cukup menikmati kehidupan ini. Suamiku yang kalem
dan sedikit pendiam adalah seorang pegawai swasta di kotaku ini.
Penghasilan sebulannya cukup untuk menghidupi kami bertiga. Namun kami
belum begitu puas. Walau bagaimana kami harus merasakan lebih bukan
hanya sekedar cukup.
Karena jabatan suamiku sudah tidak mungkin lagi naik di perusahaannya,
untuk menambah penghasilan kami, aku meminta ijin kepada Mas Hadi untuk
bekerja, mengingat pendidikanku sebagai seorang Accounting sama sekali
tidak kumanfatkan semenjak aku menikah. Pada dasarnya suamiku itu selalu
menuruti keinginanku, maka tanpa banyak bicara dia mengijinkan aku
bekerja, walaupun aku sendiri belum tahu bekerja di mana, dan perusahaan
mana yang akan menerimaku sebagai seorang Accounting, karena aku sudah
berkeluarga.
“Bukankah kamu punya teman yang anak seorang Direktur di sini?” kata
suamiku di suatu malam setelah kami melakukan hubungan badan.
“Iya… si Yanthi, teman kuliah Ridha..!” kataku.
“Coba deh, kamu hubungi dia besok. Kali saja dia mau menolong kamu..!” katanya lagi.
“Tapi, benar nih.. Mas.. kamu ijinkan saya bekerja..?”
Mas Hadi mengangguk mesra sambil menatapku kembali.
Sambil tersenyum, perlahan dia dekatkan wajahnya ke wajahku dan mendaratkan bibirnya ke bibirku.
“Terimakasih.. Mas.., mmhh..!” kusambut ciuman mesranya.
Dan beberapa lama kemudian kami pun mulai terangsang lagi, dan
melanjutkan persetubuhan suami istri untuk babak yang ketiga. Kenikmatan
demi kenikmatan kami raih. Hingga kami lelah dan tanpa sadar kami pun
terlelap menuju alam mimpi kami masing-masing.
Perlu kuceritakan di sini bahwa Rendy, anak kami tidak bersama kami. Dia
kutitipkan ke nenek dan kakeknya yang berada di lain daerah, walaupun
masih satu kota. Kedua orangtuaku sangat menyayangi cucunya ini, karena
anakku adalah satu-satunya cucu laki-laki mereka.
Siang itu ketika aku terbangun dari mimpiku, aku tidak mendapatkan
suamiku tidur di sisiku. Aku menengok jam dinding. Rupanya suamiku sudah
berangkat kerja karena jam dinding itu sudah menunjukkan pukul sembilan
pagi. Aku teringat akan percakapan kami semalam. Maka sambil mengenakan
pakaian tidurku (tanpa BH dan celana dalam), aku beranjak dari tempat
tidur berjalan menuju ruang tamu rumahku, mengangkat telpon yang ada di
meja dan memutar nomor telpon Yanti, temanku itu.
“Hallo… ini Yanti..!” kataku membuka pembicaraan saat kudengar telpon yang kuhubungi terangkat.
“Iya.., siapa nih..?” tanya Yanti.
“Ini.. aku Ridha..!”
“Oh Ridha.., ada apa..?” tanyanya lagi.
“Boleh nggak sekarang aku ke rumahmu, aku kangen sama kamu nih..!” kataku.
“Silakan.., kebetulan aku libur hari ini..!” jawab Yanti.
“Oke deh.., nanti sebelum makan siang aku ke rumahmu. Masak yang enak
ya, biar aku bisa makan di sana..!” kataku sambil sedikit tertawa.
“Sialan luh. Oke deh.., cepetan ke sini.., ditunggu loh..!”
“Oke.., sampai ketemu yaa.. daah..!” kataku sambil menutup gagang telpon itu.
Setelah menelepon Yanti, aku berjalan menuju kamar mandi. Di kamar mandi
itu aku melepas pakaianku semuanya dan langsung membersihkan tubuhku.
Namun sebelumnya aku bermasturbasi sejenak dengan memasukkan jariku ke
dalam vaginaku sendiri sambil pikiranku menerawang mengingat
kejadian-kejadian yang semalam baru kualami. Membayangkan penis suamiku
walau tidak begitu besar namun mampu memberikan kepuasan padaku. Dan ini
merupakan kebiasaanku.
Walaupun aku telah bersuami, namun aku selalu menutup kenikmatan
bersetubuh dengan Mas Hadi dengan bermasturbasi, karena kadang-kadang
bermasturbasi lebih nikmat.
Singkat cerita, siang itu aku sudah berada di depan rumah Yanti yang
besar itu. Dan Yanti menyambutku saat aku mengetuk pintunya.
“Apa khabar Rida..?” begitu katanya sambil mencium pipiku.
“Seperti yang kamu lihat sekarang ini..!” jawabku.
Setelah berbasa-basi, Yanti membimbingku masuk ke ruangan tengah dan mempersilakan aku untuk duduk.
“Sebentar ya.., kamu santailah dahulu, aku ambil minuman di belakang…” lalu Yanti meninggalkanku.
Aku segera duduk di sofanya yang empuk. Aku memperhatikan ke sekeliling
ruangan ini. Bagus sekali rumahnya, beda dengan rumahku. Di setiap sudut
ruang terdapat hiasan-hiasan yang indah, dan pasti mahal-mahal.
Foto-foto Yanti dan suaminya terpampang di dinding-dinding. Sandi yang
dahulu katanya sempat menaksir aku, yang kini adalah suami Yanti,
terlihat semakin ganteng saja. Dalam pikirku berkata, menyesal juga aku
acuh tak acuh terhadapnya dahulu. Coba kalau aku terima cintanya,
mungkin aku yang akan menjadi istrinya.
Sambil terus memandangi foto Sandi, suaminya, terlintas pula dalam
ingatanku betapa pada saat kuliah dulu lelaki keturunan Manado ini
mencoba menarik perhatianku (aku, Yanti dan Sandi memang satu kampus).
Sandi memang orang kaya. Dia adalah anak pejabat pemerintahan di
Jakarta. Pada awalnya aku pun tertarik, namun karena aku tidak suka
dengan sifatnya yang sedikit sombong, maka segala perhatiannya padaku
tidak kutanggapi. Aku takut jika tidak cocok dengannya, karena aku
orangnya sangat sederhana.
Lamunannku dikagetkan oleh munculnya Yanti. Sambil membawa minuman,
Yanti berjalan ke arah aku duduk, menaruh dua gelas sirup dan
mempersilakanku untuk minum.
“Ayo Rid, diminum dulu..!” katanya.
Aku mengambil sirup itu dan meminumnya. Beberapa teguk aku minum sampai
rasa dahaga yang sejak tadi terasa hilang, aku kembali menaruh gelas
itu.
“Oh iya, Mas Sandi ke mana?” tanyaku.
“Biasa… Bisnis dia,” kata Yanti sambil menaruh gelasnya. “Sebentar lagi
juga pulang. Sudah kutelpon koq dia, katanya dia juga kangen sama
kamu..!” ujarnya lagi.
Yanti memang sampai sekarang belum mengetahui kalau suaminya dahulu
pernah naksir aku. Tapi mungkin juga Sandi sudah memberitahukannya.
“Kamu menginap yah.. di sini..!” kata Yanti.
“Akh… enggak ah, tidak enak khan..!” kataku.
“Loh… nggak enak gimana, kita kan sahabat. Sandi pun kenal kamu. Lagian
aku sudah mempersiapkan kamar untukmu, dan aku pun sedang ambil cuti
koq, jadi temani aku ya.., oke..!” katanya.
“Kasihan Mas Hadi nanti sendirian..!” kataku.
“Aah… Mas Hadi khan selalu menurut keinginanmu, bilang saja kamu mau
menginap sehari di sini menemani aku. Apa harus aku yang bicara
padanya..?”
“Oke deh kalau begitu.., aku pinjam telponmu ya..!” kataku.
“Tuh di sana…!” kata Yanti sambil menujuk ke arah telepon.
Aku segera memutar nomor telpon kantor suamiku. Dengan sedikit
berbohong, aku minta ijin untuk menginap di rumah Yanti. Dan
menganjurkan Mas Hadi untuk tidur di rumah orangtuaku. Seperti biasa Mas
Hadi mengijinkan keinginanku. Dan setelah basa-basi dengan suamiku,
segera kututup gagang telpon itu.
“Beres..!” kataku sambil kembali duduk di sofa ruang tamu.
“Nah.., gitu dong..! Ayo kutunjukkan kamarmu..!” katanya sambil membimbingku.
Di belakang Yanti aku mengikuti langkahnya. Dari belakang itu juga aku
memperhatikan tubuh montoknya. Yanti tidak berubah sejak dahulu.
Pantatnya yang terbungkus celana jeans pendek yang ketat
melenggak-lenggok. Pinggulnya yang ramping sungguh indah, membuatku
iseng mencubit pantat itu.
“Kamu masih montok saja, Yan..!” kataku sambil mencubit pantatnya.
“Aw.., akh.. kamu. Kamu juga masih seksi saja. Bisa-bisa Mas Sandi nanti naksir kamu..!” katanya sambil mencubit buah dadaku.
Kami tertawa cekikikan sampai kamar yang dipersiapkan untukku sudah di depan mataku.
“Nah ini kamarmu nanti..!” kata Yanti sambil membuka pintu kamar itu.
Besar sekali kamar itu. Indah dengan hiasan interior yang berseni
tinggi. Ranjangnya yang besar dengan seprei yang terbuat dari kain
beludru warna biru, menghiasi ruangan ini. Lemari pakaian berukiran ala
Bali juga menghiasi kamar, sehingga aku yakin setiap tamu yang menginap
di sini akan merasa betah.
Akhirnya di kamar itu sambil merebahkan diri, kami mengobrol apa saja.
Dari pengalaman-pengalaman dahulu hingga kejadian kami masing-masing.
Kami saling bercerita tentang keluhan-keluhan kami selama ini. Aku pun
bercerita panjang mulai dari perkawinanku sampai sedetil-detilnya,
bahkan aku bercerita tentang hubungan bercinta antara aku dan suamiku.
Kadang kami tertawa, kadang kami serius saling mendengarkan dan
bercerita. Hingga pembicaraan serius mulai kucurahkan pada sahabatku
ini, bahwa aku ingin bekerja di perusahan bapaknya yang direktur.
“Gampang itu..!” kata Yanti. “Aku tinggal menghubungi Papa nanti di
Jakarta. Kamu pasti langsung diberi pekerjaan. Papaku kan tahu kalau
kamu adalah satu-satunya sahabatku di dunia ini..” lanjutnya sambil
tertawa lepas.
Tentu saja aku senang dengan apa yang dibicarakan oleh Yanti, dan kami
pun meneruskan obrolan kami selain obrolan yang serius barusan.
Tanpa terasa, di luar sudah gelap. Aku pun minta ijin ke Yanti untuk
mandi. Tapi Yanti malah mengajakku mandi bersama. Dan aku tidak
menolaknya. Karena aku berpikir toh sama-sama wanita.Sungguh di luar
dugaan, di kamar mandi ketika kami sama-sama telanjang bulat, Yanti
memberikan sesuatu hal yang sama sekali tidak terpikirkan.
Sebelum air yang hangat itu membanjiri tubuh kami, Yanti memelukku
sambil tidak henti-hentinya memuji keindahan tubuhku. Semula aku risih,
namun rasa risih itu hilang oleh perasaan yang lain yang telah menjalar
di sekujur tubuh. Sentuhan-sentuhan tangannya ke sekujur tubuhku
membuatku nikmat dan tidak kuasa aku menolaknya. Apalagi ketika Yanti
menyentuh bagian tubuhku yang sensitif.
Kelembutan tubuh Yanti yang memelukku membuatku merinding begitu rupa.
Buah dadaku dan buah dadanya saling beradu. Sementara bulu-bulu lebat
yang berada di bawah perut Yanti terasa halus menyentuh daerah bawah
perutku yang juga ditumbuhi bulu-bulu. Namun bulu-bulu kemaluanku tidak
selebat miliknya, sehingga terasa sekali kelembutan itu ketika Yanti
menggoyangkan pinggulnya.
Karena suasana yang demikian, aku pun menikmati segala apa yang dia
lakukan. Kami benar-benar melupakan bahwa kami sama-sama perempuan.
Perasaan itu hilang akibat kenikmatan yang terus mengaliri tubuh. Dan
pada akhirnya kami saling berpandangan, saling tersenyum, dan mulut kami
pun saling berciuman.
Kedua tanganku yang semuala tidak bergerak kini mulai melingkar di
tubuhnya. Tanganku menelusuri punggungnya yang halus dari atas sampai ke
bawah dan terhenti di bagian buah pantatnya. Buah pantat yang kencang
itu secara refleks kuremas-remas. Tangan Yanti pun demikian, dengan
lembut dia pun meremas-remas pantatku, membuatku semakin naik dan
terbawa arus suasana. Semakin aku mencium bibirnya dengan bernafsu,
dibalasnya ciumanku itu dengan bernafsu pula.
Hingga suatu saat ketika Yanti melepas ciuman bibirnya, lalu mulai
menciumi leherku dan semakin turun ke bawah, bibirnya kini menemukan
buah dadaku yang mengeras. Tanpa berkata-kata sambil sejenak melirik
padaku, Yanti menciumi dua bukit payudaraku secar bergantian. Napasku
mulai memburu hingga akhirnya aku menjerit kecil ketika bibir itu
menghisap puting susuku. Dan sungguh aku menikmati semuanya, karena baru
pertama kali ini aku diciumi oleh seorang wanita.
“Akh.., Yaantiii.., oh..!” jerit kecilku sedikit menggema.
“Kenapa Rid.., enak ya..!” katanya di sela-sela menghisap putingku.
“Iya.., oh.., enaaks… teruus..!” kataku sambil menekan kepalanya.
Diberi semangat begitu, Yanti semakin gencar menghisap-hisap putingku,
namun tetap lembut dan mesra. Tangan kirinya menahan tubuhku di
punggung.
Sementara tangan kanannya turun ke bawah menuju kemaluanku. Aku teringat
akan suamiku yang sering melakukan hal serupa, namun perbedaannya
terasa sekali, Yanti sangat lembut memanjakan tubuhku ini, mungkin
karena dia juga wanita.
Setelah tangan itu berada di kemaluanku, dengan lembut sekali dia
membelainya. Jarinya sesekali menggesek kelentitku yang masih
tersembunyi, maka aku segera membuka pahaku sedikit agar kelentitku yang
terasa mengeras itu leluasa keluar.
Ketika jari itu menyentuh kelentitku yang mengeras, semakin asyik Yanti
memainkan kelentitku itu, sehingga aku semakin tidak dapat mengendalikan
tubuhku. Aku menggelinjang hebat ketika rasa geli campur nikmat
menjamah tubuhku. Pori-poriku sudah mengeluarkan keringat dingin, di
dalam liang vaginaku sudah terasa ada cairan hangat yang mengalir
perlahan, pertanda rangsangan yang sungguh membuatku menjadi nikmat.
Ketika tanganku menekan bagian atas kepalanya, bibir Yanti yang
menghisap kedua putingku secara bergantian segera berhenti. Ada
keinginan pada diriku dan Yanti mengerti akan keinginanku itu. Namun
sebelumnya, kembali dia pada posisi wajahnya di depan wajahku.
Tersungging senyuman yang manis.
“Ingin yang lebih ya..?” kata Santi.
Sambil tersenyum aku mengangguk pelan. Tubuhku diangkatnya dan aku duduk
di ujung bak mandi yang terbuat dari porselen. Setelah aku memposisikan
sedemikian rupa, tangan Yanti dengan cekatan membuka kedua pahaku
lebar-lebar, maka vaginaku kini terkuak bebas. Dengan posisi berlutut,
Yanti mendekatkan wajahnya ke selangkanganku. Aku menunggu perlakuannya
dengan jantung yang berdebar kencang.
Napasku turun naik, dadaku terasa panas, begitu pula vaginaku yang
terlihat pada cermin yang terletak di depanku sudah mengkilat akibat
basah, terasa hangat. Namun rasa hangat itu disejukkan oleh angin yang
keluar dari kedua lubang hidung Yanti. Tangan Yanti kembali membelai
vaginaku, menguakkan belahannya untuk menyentuh kelentitku yang semakin
menegang.
Agak lama Yanti membelai-belai kemaluanku itu yang sekaligus
mempermainkan kelentitku. Sementara mulutnya menciumi pusar dan
sekitarnya. Tentu saja aku menjadi kegelian dan sedikit tertawa. Namun
Yanti terus saja melakukan itu.
Hingga pada suatu saat, “Eiist… aakh… aawh… Yanthhii… akh… mmhh… ssh..!”
begitu suara yang keluar dari mulutku tanpa disadari, ketika mulutnya
semakin turun dan mencium vaginaku.
Kedua tangan Yanti memegangi pinggul dan pantatku menahan gerakanku yang menggelinjang nikmat.
Kini ujung lidahnya yang menyentuh kelentitku. Betapa pintar dia
mempermainkan ujung lidah itu pada daging kecilku, sampai aku kembali
tidak sadar berteriak ketika cairan di dalam vaginaku mengalir keluar.
“Oohh… Yantii… ennaakss… sekaalii..!” begitu teriakku.
Aku mulai menggoyangkan pinggulku, memancing nikmat yang lebih. Yanti
masih pada posisinya, hanya sekarang yang dijilati bukan hanya
kelentitku tapi lubang vaginaku yang panas itu. Tubuhku bergetar begitu
hebat. Gerakan tubuhku mulai tidak karuan. Hingga beberapa menit
kemudian, ketika terasa orgasmeku mulai memuncak, tanganku memegang
bagian belakang kepalanya dan mendorongnya. Karuan saja wajah Yanti
semakin terpendam di selangkanganku.
“Hissapp… Yantiii..! Ooh.., aku.. akuu.. mau.. keluaar..!” jeritku.
Yanti berhenti menjilat kelentitku, kini dia mencium dan menghisap kuat lubang kemaluanku.
Maka.., “Yaantii.., aku.. keluaar..! Oh.., aku.. keluar.. nikmaathhs..
ssh..!” bersamaan dengan teriakku itu, maka aku pun mencapai orgasme.
Tubuhku seakan melayang entah kemana. Wajahku menengadah dengan mata
terpejam merasakan berjuta-juta nikmat yang sekian detik menjamah tubuh,
hingga akhirnya aku melemas dan kembali pada posisi duduk. Maka Yanti
pun melepas hisapannya pada vaginaku.
Dia berdiri, mendekatkan wajahnya ke hadapan wajahku, dan kembali dia
mencium bibirku yang terbuka. Napasku yang tersengal-sengal disumbat
oleh mulut Yanti yang menciumku. Kubalas ciuman mesranya itu setelah
tubuhku mulai tenang.
“Terimakasih Yanti.., enak sekali barusan..!” kataku sambil tersenyum.
Yanti pun membalas senyumanku. Dia membantuku turun dari atas bak mandi itu.
“Kamu mau nggak dikeluarin..?” kataku lagi.
“Nanti sajalah.., lagian udah gatel nih badanku. Sekarang mending kita mandi..!” jawabnya sambil menyalakan shower.
Akhirnya kusetujui usul itu, sebab badanku masih lemas akibat nikmat
tadi. Dan rupanya Yanti tahu kalau aku kurang bertenaga, maka aku pun
dimandikannya, disabuni, diperlakukan layaknya seorang anak kecil. Aku
hanya tertawa kecil. Iseng-iseng kami pun saling menyentuh bagian tubuh
kami masing-masing. Begitupula sebaliknya, ketika giliran Yanti yang
mandi, aku lah yang menyabuni tubuhnya.
Setelah selesai mandi, kami pun keluar dari kamar mandi itu secara
bersamaan. Sambil berpelukan, pundak kami hanya memakai handuk yang
menutup tubuh kami dari dada sampai pangkal paha, dan sama sekali tidak
mengenakan dalaman. Aku berjalan menuju kamarku sedang Yanti menuju
kamarnya sendiri. Di dalam kamar aku tidak langsung mengenakan baju. Aku
masih membayangkan kejadian barusan. Seolah-olah rasa nikmat tadi masih
mengikutiku.
Di depan cermin, kubuka kain handuk yang menutupi tubuhku. Handuk itu
jatuh terjuntai ke lantai, dan aku mulai memperhatikan tubuh telanjangku
sendiri. Ada kebanggaan dalam hatiku. Setelah tadi melihat tubuh
telanjang Yanti yang indah, ternyata tubuhku lebih indah. Yanti memang
seksi, hanya dia terlalu ramping sehingga sepintas tubuhnya itu terlihat
kurus. Sedangkan tubuhku agak montok namun tidak terkesan gemuk.
Entah keturunan atau tidak, memang demikianlah keadaan tubuhku. Kedua
payudaraku berukuran 34B dengan puting yang mencuat ke atas, padahal aku
pernah menyusui anakku. Sedangkan payudara Yanti berukuran 32 tapi juga
dengan puting yang mencuat ke atas juga.
Kuputar tubuhku setengah putaran. Kuperhatikan belahan pantatku. Bukit
pantatku masih kencang, namun sudah agak turun, karena aku pernah
melahirkan. Berbeda dengan pantat milik Yanti yang masih seperti pantat
gadis perawan, seperti pantat bebek.
Kalau kuperhatikan dari pinggir tubuhku, nampak perutku yang ramping.
Vaginaku nampak menonjol keluar. Bulu-bulu kemaluanku tidak lebat,
walaupun pernah kucukur pada saat aku melahirkan. Padahal kedua tangan
dan kedua kakiku tumbuh bulu-bulu tipis, tapi pertumbuhan bulu
kemaluanku rupanya sudah maksimal. Lain halnya dengan Yanti, walaupun
perutnya lebih ramping dibanding aku, namun kemaluannya tidak menonjol
alias rata. Dan daerah itu ditumbuhi bulu-bulu yang lebat namun tertata
rapi.
Setelah puas memperhatikan tubuhku sendiri (sambil membandingkan dengan
tubuh Yanti), aku pun membuka tasku dan mengambil celana dalam dan
Bra-ku. Kemudian kukenakan kedua pakaian rahasiaku itu setelah sekujur
tubuhku kulumuri bedak. Namun aku agak sedikit kaget dengan teriakan
Yanti dari kamarnya yang tidak begitu jauh dari kamar ini.
“Rida..! Ini baju tidurmu..!” begitu teriaknya.
Maka aku pun mengambil handuk yang berada di lantai. Sambil berjalan
kukenakan handuk itu menutupi tubuhku seperti tadi, lalu keluar menuju
kamarnya yang hanya beberapa langkah. Pintu kamarnya ternyata tidak
dikunci. Karena mungkin Yanti tahu kedatanganku, maka dia mempersilakan
aku masuk.
“Masuk sini Rid..!” kataya dari dalam kamar.
Kudorong daun pintu kamarnya. Aku melihat di dalam kamar itu tubuh Yanti
yang telanjang merebah di atas kasur. Tersungging senyuman di bibirnya.
Karena aku sudah melangkah masuk, maka kuhampiri tubuh telanjang itu.
“Kamu belum pake baju, Yan..?” kataku sambil duduk di tepi ranjang.
“Akh.., gampang… tinggal pake itu, tuh..!” kata Yanti sambil tangannya
menunjuk tumpukan gaun tidur yang berada di ujung ranjang.
Lalu dia berkata lagi, “Kamu sudah pake daleman, ya..?”
Aku mengangguk, “Iya..!”
Kuperhatikan dadanya turun naik. Napasnya terdengar memburu. Apakah dia sedang bernafsu sekarang.., entahlah.
Lalu tangan Yanti mencoba meraihku. Sejenak dia membelai tubuhku yang
terbungkus handuk itu sambil berkata, “Kamu mengairahkan sekali memakai
ini..!”
“Akh.., masa sih..!” kataku sambil tersenyum dan sedikit menggeser tubuhku lebih mendekat ke tubuh Yanti.
“Benar.., kalo nggak percaya.., emm.. kalo nggak percaya..!” kata Yanti sedikit menahan kata-katanya.
“Kalo nggak percaya apa..?” tanyaku.
“Kalo nggak percaya..!” sejenak matanya melirik ke arah belakangku.
“Kalo nggak percaya tanya saja sama orang di belakangmu… hi.. hi..!” katanya lagi.
Segera aku memalingkan wajahku ke arah belakangku. Dan.., (hampir saja
aku teriak kalau mulutku tidak buru-buru kututup oleh tanganku), dengan
jelas sekali di belakangku berdiri tubuh lelaki dengan hanya mengenakan
celana dalam berwarna putih yang tidak lain adalah Mas Sandi suami Yanti
itu. Dengan refleks karena kaget aku langsung berdiri dan bermaksud
lari dari ruangan ini. Namun tangan Yanti lebih cepat menangkap tanganku
lalu menarikku sehingga aku pun terjatuh dengan posisi duduk lagi di
ranjang yang empuk itu.
“Mau kemana.. Rida.., udah di sini temani aku..!” kata Yanti setengah berbisik.
Aku tidak sempat berkata-kata ketika Mas Sandi mulai bergerak berjalan
menuju aku. Dadaku mulai berdebar-debar. Ada perasaan malu di dalam
hatiku.
“Halo.., Rida. Lama tidak bertemu ya…” suara Mas Sandi menggema di ruangan itu.
Tangannya mendarat di pundakku, dan lama bertengger di situ.
Aku yang gelagapan tentu saja semakin gelagapan. Namun ketika tangan
Yanti dilepaskan dari cengkramannya, pada saat itu tidak ada keinginanku
untuk menghindar. Tubuhku terasa kaku, sama sekali aku tidak dapat
bergerak. Lidahku pun terasa kelu, namun beberapa saat aku memaksa
bibirku berkata-kata.
“Apa-apaan ini..?” tanyaku parau sambil melihat ke arah Yanti.
Sementara tangan yang tadi bertengger di bahuku mulai bergerak
membelai-belai. Serr.., tubuhku mulai merinding. Terasa bulu-bulu halus
di tangan dan kaki berdiri tegak.
Rupanya Sentuhan tangan Mas Sandi mampu membangkitkan birahiku kembali.
Apalagi ketika terasa di bahuku yang sebelah kiri juga didarati oleh
tangan Mas Sandi yang satunya lagi. Perasaan malu yang tadi segera
sirna. Tubuhku semakin merinding. Mataku tanpa sadar terpejam menikmati
dalam-dalam sentuhan tangan Mas Sandi di bahuku itu.
Pijatan-pijatan kecil di bahuku terasa nyaman dan enak sekali. Aku
begitu menikmati apa yang terasa. Hingga beberapa saat kemudian tubuhku
melemas. Kepalaku mulai tertahan oleh perut Mas Sandi yang masih berada
di belakangku. Sejenak aku membuka mataku, nampak Yanti membelai
vaginanya sendiri dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya
meremas pelan kedua payudaranya secara bergantian. Tersungging senyuman
di bibirnya.
“Nikmati Rida..! Nikmati apa yang kamu sekarang rasakan..!” suara Yanti masih sedikit membisik.
Aku masih terbuai oleh sentuhan kedua tangan Mas Sandi yang mulai
mendarat di daerah atas payudarara yang tidak tertutup. Mataku masih
terpejam.
“Ini.. kan yang kamu inginkan. Kupinjamkan suamiku..!” kata Yanti lagi.
Mataku terbuka dan kembali memperhatikan Yanti yang masih dengan posisinya.
“Ayo Mas..! Nikmati Rida yang pernah kamu taksir dulu..!” kata Yanti lagi.
“Tentu saja Sayang.., asal.. kamu ijinkan..!” kata suara berat Mas Sandi.
Tubuhnya dibungkukkan. Kemudian wajahnya ditempelkan di bagian atas
kepalaku. Terasa bibirnya mencium mesra daerah itu. Kembali aku
memejamkan mata. Bulu-buluku semakin keras berdiri. Sentuhan lembut
tangan Mas Sandi benar-benar nikmat. Sangat pintar sekali sentuhan itu
memancing gairahku untuk bangkit. Apalagi ketika tangan Mas Sandi
sebelah kanan berusaha membuka kain handuk yang masih menutupi tubuhku
itu.
“Oh.., Mas.., Maas… jangaan… Mas..!” aku hanya dapat berkata begitu
tanpa kuasa menahan tindakan Mas Sandi yang telah berhasil membuka
handuk dan membuangnya jauh-jauh.
Tinggallah tubuh setengah bugilku. Kini gairahku sudah memuncak dan aku mulai lupa dengan keadaanku. Aku sudah terbius suasana.
Mas Sandi mulai berlutut, namun masih pada posisi di belakangku. Kembali
dia membelai seluruh tubuhku. Dari punggungku, lalu ke perut, naik ke
atas, leherku pun kena giliran disentuhnya, dan aku mendesah nikmat
ketika leherku mulai dicium mesra oleh Mas Sandi. Sementara
desahan-desahan kecil terdengar dari mulut Yanti.
Aku melirik sejenak ke arah Yanti, rupanya dia sedang masturbasi. Lalu
aku memejamkan mata lagi, kepalaku kutengadahkan memberikan ruangan pada
leherku untuk diciumi Mas Sandi. Persaanku sudah tidak malu-malu lagi,
aku sudah kepalang basah. Aku lupa bahwa aku telah bersuami, dan aku
benar-benar akan merasakan apa yang akan kurasakan nanti, dengan lelaki
yang bukan suamiku.
“Buka ya.. BH-nya, Rida..!” kata Mas Sandi sambil melepas kancing tali BH-ku dari punggung.
Beberapa detik BH itu terlepas, maka terasa bebas kedua payudaraku yang
sejak tadi tertekan karena mengeras. Suara Yanti semakin keras, rupanya
dia mencapai orgasmenya. Kembali aku melirik Yanti yang membenamkan jari
manis dan jari telunjuknya ke dalam vaginanya sendiri. Nampak dia
mengejang dengan mengangkat pinggulnya.
“Akh.., nikmaats… ooh… nikmaatts.. sekalii..!” begitu kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Dan tidak lama kemudian dia terkulai lemas di ranjang itu. Sementara Mas Sandi sibuk dengan kegiatannya.
Kini kedua payudaraku sudah diremasi dengan mesra oleh kedua telapak
tangannya dari belakang. Sambil terus bibirnya menjilati inci demi inci
kulit leherku seluruhnya. Sedang enak-enaknya aku, tiba-tiba ada yang
menarik celana dalamku. Aku membuka mataku, rupanya Yanti berusaha untuk
melepas celana dalamku itu. Maka kuangkat pantatku sejenak memudahkan
celana dalamku dilepas oleh Yanti. Maka setelah lepas, celana dalam itu
juga dibuang jauh-jauh oleh Yanti.
Aku menggeser posisi dudukku menuju ke bagian tengah ranjang itu. Mas
Sandi mengikuti gerakanku masih dari belakang, sekarang dia tidak
berlutut, namun duduk tepat di belakang tubuhku. Kedua kakinya
diselonjorkan, maka pantatku kini berada di antara selangkangan milik
Mas Sandi. Terasa oleh pantatku ada tonjolan keras di selangkangan.
Rupanya penis Mas Sandi sudah tegang maksimal.
Lalu Yanti membuka lebar-lebar pahaku, sehingga kakiku berada di atas
paha Mas Sandi. Lalu dengan posisi tidur telungkup, Yanti mendekatkan
wajahnya ke selangkanganku, dan apa yang terjadi…
“Awwh… ooh… eeisth.. aakh..!” aku menjerit nikmat ketika kembali
kurasakan lidahnya menyapu-nyapu belahan vaginaku, terasa kelentitku
semakin menegang, dan aku tidak dapat mengendalikan diri akibat nikmat,
geli, enak, dan lain sebagainya menyatu di tubuhku.
Kembali kepalaku menengadah sambil mulutku terbuka. Maka Mas Sandi tidak
menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia tahu maksudku. Dari belakang,
bibirnya langsung melumat bibirku yang terbuka itu dengan nafsunya. Maka
kubalas ciuman itu dengan nafsu pula. Dia menyedot, aku menyedot pula.
Terjadilah pertukaran air liur Mas Sandi dengan air liurku. Terciuma
aroma rokok pada mulutnya, namun aroma itu tidak mengganggu kenikmatan
ini.
Kedua tangan Mas Sandi semakin keras meremas kedua payudaraku, namun
menimbulkan nikmat yang teramat, sementara di bawah Yanti semakin
mengasyikkan. Dia terus menjilat dan mencium vaginaku yang telah banjir.
Banjir oleh cairan pelicin vaginaku dan air liur Yanti.
“Mmmhh… akh… mmhh..!” bibirku masih dilumati oleh bibir Mas Sandi.
Tubuhku semakin panas dan mulai memberikan tanda-tanda bahwa aku akan
mencapai puncak kenikmatan yang kutuju. Pada akhirnya, ketika remasan
pada payudaraku itu semakin keras, dan Yanti menjilat, mencium dan
menghisap vaginaku semakin liar, tubuhku menegang kaku, keringat dingin
bercucuran dan mereka tahu bahwa aku sedang menikmati orgasmeku. Aku
mengangkat pinggulku, otomatis ciuman Yanti terlepas. Semakin orgasmeku
terasa ketika jari telujuk dan jari manis Yanti dimasukkan ke liang
vaginaku, kemudian dicabutnya setengah, lalu dimasukkan lagi.
Perlakuan Yanti itu berulang-ulang, yaitu mengeluar-masukkan kedua
jarinya ke dalam lubang vaginaku. Tidak dapat diungkapkan dengan
kata-kata betapa nikmat dan enak pada saat itu.
“Aakh… aawhh… nikmaatss… terus.. Yantii.. oooh… yang cepaat.. akh..!” teriakku.
Tubuh Mas Sandi menahan tubuhku yang mengejang itu. Jarinya
memilin-milin puting susuku. Bibirnya mengulum telingaku sambil
membisikkan sesuatu yang membuatku semakin melayang. Bisikan-bisikan
yang memujiku itu tidak pernah kudengar dari Mas Hadi, suamiku.
“Ayo cantik..! Nikmatilah orgasmemu.., jangan kamu tahan, keluarkan
semuanya Sayang..! Nikmatilah.., nikmatilah..! Oh.., kamu cantik sekali
jika orgasme..!” begitu bisikan yang keluar dari mulut Mas Sandi sambil
terus mengulum telingaku.
“Aakh.. Maass, aduh.. Yanti.., nikmaats… oh… enaaks.. sekali..!” teriakku.
Akhirnya tubuh kejangku mulai mengendur, diikuti dengan turunnya kenikmatan orgasmeku itu.
Perlahan sekali tubuhku turun dan akhirnya terkulai lemas di pangkuan Mas Sandi. Lalu tubuh Yanti mendekapku.
Dia berbisik padaku, “Ini.. belum seberapanya Sayaang.., nanti akan kamu
rasakan punya suamiku..!” sambil berkata demikian dia mencium keningku.
Mas Sandi beranjak dari duduknya dan berjalan entah ke arah mana, karena
pada saat itu mataku masih terpenjam seakan enggan terbuka.
Entah berapa lama aku terlelap. Ketika kusadar, kubuka mataku perlahan
dan mencari-cari Yanti dan Mas Sandi sejenak. Mereka tidak ada di kamar
ini, dan rupanya mereka membiarkanku tertidur sendiri. Aku menengok jam
dinding. Sudah pukul sepuluh malam. Segera aku bangkit dari posisi
tidurku, lalu berjalan menuju pintu kamar. Telingaku mendengar alunan
suara musik klasik yang berasal dari ruangan tamu. Dan ketika kubuka
pintu kamar itu yang kebetulan bersebelahan dengan ruang tamu, mataku
menemukan suatu adegan dimana Yanti dan suaminya sedang melakukan
persetubuhan.
Yanti dengan posisi menelentang di sofa sedang ditindih oleh Mas Sandi
dari atas. Terlihat tubuh Mas Sandi sedang naik turun. Segera mataku
kutujukan pada selangkangan mereka. Jelas terlihat penis Mas Sandi yang
berkilat sedang keluar masuk di vagina Yanti. Terdengar pula
erangan-erangan yang keluar dari mulut Yanti yang sedang menikmati
hujaman penis itu di vaginanya, membuat tubuhku perlahan memanas. Segera
saja kuhampiri mereka dan duduk tepat di depan tubuh mereka.
Di sela-sela kenikmatan, Yanti menatapku dan tersenyum. Rupanya Mas
Sandi memperhatikan istrinya dan sejenak dia menghentikan gerakannya dan
menengok ke belakang, ke arahku.
“Akh… Mas.., jangan berhentiii doong..! Oh..!” kata Yanti.
Dan Mas Sandi kembali berkonsentrasi lagi dengan kegiatannya. Kembali
terdengar desahan-desahan nikmat Yanti yang membahana ke seluruh ruangan
tamu itu. Aku kembali gelagapan, kembali resah dan tubuhku semakin
panas. Dengan refleks tanganku membelai vaginaku sendiri.
“Oh.. Ridhaa.., nikmat sekaallii.. loh..! Akuu… ooh… mmh..!” kata Yanti kepadaku.
Aku melihat wajah nikmat Yanti yang begitu cantik. Kepalannya kadang
mendongak ke atas, matanya terpejam-pejam. Sesekali dia gigit bibir
bawahnya. Kedua tangannya melingkar pada pantat suaminya, dan
menarik-narik pantat itu dengan keras sekali. Aku melihat penis Mas
Sandi yang besar itu semakin amblas di vagina Yanti. Samakin mengkilat
saja penis itu.
“Oh Mas.., aku hampiir sampaaii..! Teruus… Mas… terus..! Lebih keras lagiih.., oooh… akh..!” kata Yanti.
Yanti mengangkat tinggi-tinggi pinggulnya, Mas Sandi terus dengan gerakannya menaik-turunkan tubuhnya dalam kondisi push-up.
“Maass.., akuuu… keluaar..! Aakh… mhh… nikmaats.., mmh..!” kata Yanti lagi dengan tubuh yang mengejang.
Rupanya Yanti mencapai orgasmenya. Tangannya yang tadi melingkar di pantat suaminya, kini berpindah melingkar di punggung.
Mas Sandi berhenti bergerak dan membiarkan penis itu menancap dalam di lubang kemaluan Yanti.
“Owhh… banyak sekali Sayang.. keluarnya. Hangat sekali memekmu..!” kata Mas Sandi sambil menciumi wajah istrinya.
Dapat kubayangkan perasaan Yanti pada saat itu. Betapa nikmatnya dia.
Dan aku pun belingsatan dengan merubah-rubah posisi dudukku di depan
mereka. Beberapa saat kemudian, Yanti mulai melemas dari kejangnya dan
merubah posisinya. Segera dia turun dari sofa ketika Mas Sandi mencabut
penis dari lubang kenikmatan itu. Aku melihat dengan jelas betapa besar
dan panjang penis Mas Sandi. Dan ini baru pertama kali aku melihatnya,
karena waktu tadi di dalam kamar, Mas Sandi masih menutupi penisnya
dengan celana dalam.
Dengan segera Yanti menungging. Lalu segera pula Mas Sandi berlutut di depan pantat itu.
“Giliranmu… Mas..! Ayoo..!” kata Yanti.
Tangan Mas Sandi menggenggam penis itu dan mengarahkan langsung ke
lubang vagina Yanti. Segera dia menekan pantatnya dan melesaklah penis
itu ke dalam vagina istrinya, diikuti dengan lenguhan Yanti yang sedikit
tertahan.
“Owwh… Maas… aakh..!”
“Aduuh… Yantii.., jepit Sayangh..!” kata Mas Sandi.
Lalu kaki Yanti dirapatkan sedemikian rupa. Dan segera pantat Mas Sandi
mulai mundur dan maju.Ufh.., pemandangan yang begitu indah yang kulihat
sekarang. Baru kali ini aku menyaksikan sepasang manusia bersetubuh
tepat di depanku secara langsung. Semakin mereka mempercepat tempo
gerakannya, semakin aku terangsang begitu rupa. Tanganku yang tadi hanya
membelai-belai vaginaku, kini mulai menyentuh kelentitku.
Kenikmatan mulai mengaliri tubuhku dan semakin aku tidak tahan, sehingga
aku memasukkan jariku ke dalam vaginaku sendiri. Aku sendiri sangat
menikmati masturbasiku tanpa lepas pandanganku pada mereka. Belum lagi
telingaku jelas mendengar desahan dan rintihan Yanti, aku dapat
membayangkan apa yang dirasakan Yanti dan aku sangat ingin sekali
merasakannya, merasakan vaginaku pun dimasukkan oleh penis Mas Sandi.
Beberapa saat kemudian Mas Sandi mulai melenguh keras. Kuhentikan kegiatanku dan terus memperhatikan mereka.
“Aakhh… Yantii… nikmaats… aakh… aku keluaar..!” teriak Mas Sandi membahana.
“Oh… Maas… akuu… juggaa… akh..!”
Kedua tubuh itu bersamaan mengejang. Mereka mencapai orgasmenya secara bersama-sama.
Penis Mas Sandi masih menancap di vagina Yanti sampai akhirnya mereka
melemas, dan dari belakang tubuh Yanti, Mas Sandi memeluknya sambil
meremas kedua payudara Yanti. Mas Sandi memasukkan semua spermanya ke
dalam vagina Yanti.
Lama sekali aku melihat mereka tidak bergerak. Rupanya mereka sangat
kelelahan. Di sofa itu mereka tertidur bertumpukan. Tubuh Yanti berada
di bawah tubuh Mas Sandi yang menindihnya. Mata mereka terpejam seolah
tidak menghiraukan aku yang duduk terpaku di depannya. Hingga aku pun
mulai bangkit dari dudukku dan beranjak pergi menuju kamarku. Sesampai
di kamar aku baru sadar kalau aku masih telanjang bulat. Maka aku pun
balik lagi menuju kamar Yanti di mana celana dalam dan BH yang akan
kupakai berada di sana.
Selagi aku berjalan melewati ruang tamu itu, aku melihat mereka masih
terkulai di sofa itu. Tanpa menghiraukan mereka, aku terus berjalan
memasuki kamar Yanti dan memungut celana dalam dan BH yang ada di
lantai. Setelah kukenakan semuanya, kembali aku berjalan menuju kamarku
dan sempat sekali lagi aku menengok mereka di sofa itu pada saat aku
melewati ruang tamu.
Sesampai di kamar, entah kenapa rasa lelah dan kantukku hilang. Aku
menjadi semakin resah membayangkan kejadian yang baru kualami. Pertama
ketika aku dimasturbasikan oleh suami istri itu. Dan yang kedua aku
terus membayangkan kejadian di mana mereka melakukan persetubuhan yang
hebat itu. Keinginanku untuk merasakan penis Mas Sandi sangat besar. Aku
mengharapkan sekali Mas Sandi sekarang menghampiri dan menikmatiku.
Namun itu mungkin tidak terjadi, karena aku melihat mereka sudah lelah
sekali.
Entah sudah berapa kali mereka bersetubuh pada saat aku terlelap tadi.
Aku semakin tidak dapat menahan gejolak birahiku sendiri hingga aku
merebahkan diri di kasur empuk. Dengan posisi telungkup, aku mulai
memejamkan mata dengan maksud agar aku terlelap. Namun semua itu
sia-sia. Karena kembali kejadian-kejadian barusan terus membayangiku.
Secara cepat aku teringat bahwa tadi ketika mereka bersetubuh, aku
melakukan masturbasi sendiri dan itu tidak selesai. Maka tanganku segera
kuselipkan di selangkanganku. Aku membelai kembali vaginaku yang terasa
panas itu.
Dan ketika tanganku masuk ke dalam celanaku, aku mulai menyentuh
klitorisku. Kembali aku nikmat. Aku tidak kuasa membendung perasaan itu,
dan jariku mulai menemukan lubang kemaluanku yang berlendir itu. Dengan
berusaha membayangkan Mas Sandi menyetubuhiku, kumasukkan jari tengahku
ke dalam lubang itu dalam-dalam. Kelembutan di dalam vaginaku dan
gesekan di dinding-dindingnya membuatku mendesah kecil.
Sambil mengeluar-masukkan jari tengahku, aku membayangkan betapa besar
dan panjangnya penis Mas Sandi. Beda sekali dengan penis Mas Hadi yang
kumiliki. Kemaluan Mas Sandi panjang dan besarnya normal-normal saja.
Sedangkan milik Mas Sandi, sudah panjang dan besar, dihiasi oleh
urat-uratnya yang menonjol di lingkaran batang kemaluannya. Itu semua
kulihat tadi dan kini terbayang di dalam benakku.
Beberapa menit kemudian, ketika ada sesuatu yang lain di dalam vaginaku,
semakin kupercepat jari ini kukeluar-masukkan. Sambil terus membayangi
Mas Sandi yang menyetubuhiku, dan aku sama sekali tidak membayangkan
suamiku sendiri. Setiap bayangan suamiku muncul, cepat-cepat kubuang
bayangan itu, hingga kembali Mas Sandi lah yang kubayangkan.
Tanpa sadar, ketika aku akan mencapai orgasme, aku membalikan badan dan
aku memasukkan jari telunjuk ke dalam lubang vaginaku. Dalam keadaan
telentang aku mengangkangkan selebar mungkin pahaku. Kini dua jariku
yang keluar masuk di lubang vaginaku. Maka kenikmatan itu berlanjut
hebat sehingga tanpa sadar aku memanggil-manggil pelan nama Mas Sandi.
“Akh… sshh… Masss… Sandii… Okh… Mass.. Mas.. Sandi.. aakkh..!” itulah yang keluar dari mulutku.
Seer… aku merasa kedua jariku hangat sekali dan semakin licin. Aku
mengangkat ke atas pinggulku sambil tidak melepas kedua jariku menancap
di lubang vaginaku. Beberapa lama tubuhku merinding, mengejang, dan
nikmat tidak terkira. Sampai pada akhirnya aku melemas dan pinggulku
turun secara cepat ketika kenikmatan itu perlahan berkurang.
Aku mencabut jari jemariku dan cairan yang menempel di jari-jari itu
segera kujilati. Asin campur gurih yang kurasakan di lidahku. Dengat
mata yang terpejam-pejam kembali aku membayangkan penis Mas Sandi yang
sedang kuciumi, kuhisap, dan kurasakan. Cairan yang asin dan gurih itu
kubayangkan sperma Mas Sandi. Ohhh.., nikmatnya semua ini.
Dan setelah aku puas, barulah kuhentikan hayalan-hayalanku itu. Kutarik
selimut yang ada di sampingku dan menutupi sekujur tubuhku yang mulai
mendingin. Aku tersenyum sejenak mengingat hal yang barusan, gila… aku
masturbasi dengan membayangkan suami orang lain.
Pagi harinya, ketika aku terjaga dari tidurku dan membuka mataku, aku
melihat di balik jendela kamar sudah terang. Jam berapa sekarang,
pikirku. Aku menengok jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi.
Aku kaget dan bangkit dari posisi tidurku. Ufh.., lemas sekali badan ini
rasanya. Kukenakan celana dalamku. Karena udara sedikit dingin, kubalut
tubuhku dengan selimut dan mulai berdiri.
Ketika berdiri, sedikit kugerak-gerakan tubuhku dengan maksud agar rasa
lemas itu segera hilang. Lalu dengan gontai aku berjalan menuju pintu
kamar dan membuka pintu yang tidak terkunci.
Karena aku ingin pipis, segera aku berjalan menuju kamar mandi,
sesampainya di kamar mandi segera kuturunkan celana dalamku dan
berjongkok. Keluarlah air hangat urine-ku dari liang vagina. Sangat
banyak sekali air kencingku, sampai-sampai aku pegal berjongkok.
Beberapa saat kemudian, ketika air kencingku habis, segera kubersihkan
vaginaku dan kembali aku mengenakan celana dalamku, lalu kembali pula
aku melingkari kain selimut itu, karena hanya kain ini yang dapat
kupakai untuk menahan rasa dingin, baju tidur yang akan dipinjamkan oleh
Yanti masih berada di kamarnya.
Aku keluar dari kamar mandi itu, lalu berjalan menuju ruangan dapur yang
berada tidak jauh dari kamar mandi itu, karena tenggorokanku terasa
haus sekali. Di dapur itu aku mengambil segelas air dan meminumnya.
Setelah minum aku berjalan lagi menuju kamarku. Namun ketika sampai di
pintu kamar, sejenak pandangan mataku menuju ke arah ruang tamu. Di sana
terdapat Mas Sandi sedang duduk di sofa sambil menghisap sebatang
rokok. Matanya memandangku tajam, namun bibirnya memperlihatkan
senyumnya yang manis. Dengan berbalut kain selimut di tubuhku, aku
menghampiri Mas Sandi yang memperhatikan aku. Lalu aku duduk di sofa
yang terletak di depannya. Aku membalas tatapan Mas Sandi itu dengan
menyunggingkan senyumanku.
“Yanti mana..?” tanyaku padanya membuka pembicaraan.
“Sedang ke warung sebentar, katanya sih mau beli makanan..!” jawabnya.
“Mas Sandi tidak kerja hari ini..?”
“Tidak akh.., malas sekali hari ini. Lagian khan aku tak mau kehilangan
kesempatan..!” sambil berkata demikian dengan posisi berlutut dia
menghampiriku.
Setelah tepat di depanku, segera tangannya melepas kain selimut yang
membungkusi tubuhku. Lalu dengan cepat sekali dia mulai meraba-raba
tubuhku dari ujung kaki sampai ujung pahaku. Diperlakukan demikian tentu
saja aku geli. Segera bulu-bulu tubuhku berdiri.
“Akh… Mas..! Gellii..!” kataku.
Mas Sandi tidak menghiraukan kata-kataku itu.
Kini dia mulai mendaratkan bibirnya ke seluruh kulit kakiku dari bawah
sampai ke atas. Perlakuannya itu berulang-ulang, sehingga menciptakan
rasa geli campur nikmat yang membuatku terangsang. Lama sekali perlakuan
itu dilakukan oleh Mas Sandi, dan aku pun semakin terangsang.
“Akh… Mas..! Oh.., mmh..!” aku memegang bagian belakang kepala Mas Sandi
dan menariknya ketika mulut lelaki itu mencium vaginaku.
Semakin aku mengangkangkan pahaku, dengan mesranya lidah Mas Sandi mulai
menjilat kemaluanku itu. Tubuhku mulai bergerak-gerak tidak beraturan,
merasakan nikmat yang tiada tara di sekujur tubuhku.
Aku membuang kain selimut yang masih menempel di tubuhku ke lantai,
sementara Mas Sandi masih dengan kegiatannya, yaitu menciumi dan
menjilati vaginaku. Aku menengadah menahan nikmat, kedua kakiku naik di
tumpangkan di kedua bahunya, namun tangan Mas Sandi menurunkannya dan
berusaha membuka lebar-lebar kedua pahaku itu. Karuan saja
selangkanganku semakin terkuak lebar dan belahan vaginaku semakin
membelah.
“Akh.. Mas..! Shh.. nikmaats..! Terus Mass..!” rintihku.
Kedua tangan Mas Sandi ke atas untuk meremas payudaraku yang terasa
sudah mengeras, remasan itu membuatku semakin nikmat saja, dan itu
membuat tubuhku semakin menggelinjang. Segera aku menambah kenikmatanku
dengan menguakkan belahan vaginaku, jariku menyentuh kelentitku sendiri.
Oh.., betapa nikmat yang kurasakan, liang kemaluanku sedang disodok
oleh ujung lidah Mas Sandi, kedua payudaraku diremas-remas, dan
kelentitku kusentuh dan kupermainkan. Sehingga beberapa detik kemudian
terasa tubuhku mengejang hebat disertai perasaan nikmat teramat sangat
dikarenakan aku mulai mendekati orgasmeku.
“Oh… Mas..! Aku… aku… akh.., nikmaats… mhh..!” bersamaan dengan itu aku mencapai klimaksku.
Tubuhku melayang entah kemana, dan sungguh aku sangat menikmatinya.
Apalagi ketika Mas Sandi menyedot keras lubang kemaluanku itu. Tahu
bahwa aku sudah mencapai klimaks, Mas Sandi menghentikan kegiatannya dan
segera memelukku, mecium bibirku.
“Kamu sungguh cantik, Ridha.., aku cinta padamu..!” sambil berkata
demikian, dengan pinggulnya dia membuka kembali pahaku, dan terasa
batang kemaluannya menyentuh dinding kemaluannku.
Segera tanganku menggenggam kemaluan itu dan mengarahkan langsung tepat ke liang vaginaku.
“Lakukan Mas..! Lakukan sekarang..! Berikan cintamu padaku sekarang..!” kataku sambil menerima setiap ciuman di bibirku.
Mas Sandi dengan perlahan memajukan pinggulnya, maka terasa di liang
vaginaku ada yang melesak masuk ke dalamnya. Gesekan itu membuatku
kembali menengadah, sehingga ciumanku terlepas. Betapa panjang dan besar
kurasakan. Sampai aku merasakan ujung kemaluan itu menyentuh dinding
rahimku.
“Suamimu sepanjang inikah..?” tanyanya.
Aku menggelengkan kepala sambil terus menikmati melesaknya penis itu di liang vaginaku.
Beberapa saat kemudian sudah amblas semua seluruh batang kemaluan Mas
Sandi. Aku pun sempat heran, kok bisa batang penis yang panjang dan
besar itu masuk seluruhnya di vaginaku. Segera aku melipatkan kedua
kakiku di belakang pantatnya. Sambil kembali mencium bibirku dengan
mesra, Mas Sandi mendiamkan sejenak batang penisnya terbenam di
vaginaku, hingga suatu saat dia mulai menarik mundur pantatku perlahan
dan memajukannya lagi, menariknya lagi, memajukannya lagi, begitu
seterusnya hingga tanpa disadari gerakan Mas Sandi mulai dipercepat.
Karuan saja batang penis yang kudambakan itu keluar masuk di vaginaku.
Vagina yang seharusnya hanya dapat dinikmati oleh suamiku, Mas Hadi.
Di alam kenikmatan, pikiranku menerawang. Aku seorang perempuan yang
sudah bersuami tengah disetubuhi oleh orang lain, yang tidak punya hak
sama sekali menikmati tubuhku, dan itu sangat di luar dugaanku.
Seolah-olah aku sudah terjebak di antara sadar dan tidak sadar aku
sangat menikmati perselingkuhan ini. Betapa aku sangat mengharapkan
kepuasan bersetubuh dari lelaki yang bukan suamiku. Ini semua akibat
Yanti yang memberi peluang seakan sahabatku itu tahu bahwa aku
membutuhkan ini semua.
Beberapa menit berlalu, peluh kami sudah bercucuran. Sampailah aku pada
puncak kenikmatan yang kudambakan. Orgasmeku mulai terasa dan sungguh
aku sangat menikmatinya. Menikmati orgasmeku oleh laki-laki yang bukan
suamiku, manikmati orgasme oleh suami sahabatku. Dan aku tidak menduga
kalau rahimku pun menampung air sperma yang keluar dari penis lelaki
selain suamiku.
Singkat kisahku, kini aku sudah bekerja di salah satu perusahaan milik
bapaknya Yanti. Dengan demikian kehiduapanku selanjutnya mulai membaik.
Ini semua berkat bantuan dari sahabatku Yanti. Namun sekarang tercipta
problema baru yang mengganggu pikiranku. Penghianatanku terhadap Mas
Hadi tidak berhenti sampai di sini.
Gairah seksku tidak dapat tertahankan. Aku dapat melayani suamiku hingga
beberapa kali. Dan jika aku tidak merasa puas, kulampiaskan gejolakku
itu dengan Mas Sandi, bahkan kalau Mas Sandi tidak ada, aku mencari
kepuasan seksku dengan siapa saja yang mau. Dan untungnya hingga kini
suamiku tidak mengetahuinya, tapi apa mungkin dia telah mengetahuinya..?
Aku tidak perduli.